BAB I
PENDAHULUAN
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. baik itu
Hadis qauli, Hadis fi’li maupun Hadis taqriri. Sebagai sumber hukum Islam yang
kedua, Hadis memiliki kedudukan yang penting di dalam Islam. Oleh sebab itu
Hadis tidak hanya menjadi sumber hukum Islam, tetapi juga menjadi sumber ajaran
bagi umat Islam yang menjadi pedoman ataupun acuan yang diperlukan di dalam
menjalankan tata kehidupan manusia pada umumnya dan khususnya bagi umat Islam.
Kedudukan Hadis sebagai sumber hukum Islam, tidak dapat dianggap remeh
ataupun dianggap tidak penting, karena begitu pentingnya, maka Hadis harus
dapat diseleksi dan diteliti kebenarannya. Penelitian Hadis dilakukan untuk
mengetahui akan kebenaran Hadis tersebut datangnya dari Nabi Muhammad saw. atau
bukan. Sehingga untuk menemukan kebenaran itu, para ulama Hadis bekerja keras
untuk menelitinya, sampai hipotesa ataupun anggapan sementara yang sebelumnya
dapat terungkap melalui penelitian. Dengan ditemukannya kebenaran Hadis, maka Hadis
dimaksud dapat dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum di dalam Islam.
Apabila suatu Hadis tidak dapat diterima kebenarannya, maka Hadis tersebut
tertolak atau tidak dapat diterima kehujjahannya. Kehujjahan Hadis dapat
diterima apabila syarat-syarat Hadis telah terpenuhi seluruhnya ataupun Hadis
tersebut diterima oleh banyak orang, dimana sekelompok orang itu tidak mungkin
bersepakat untuk berbohong. Tetapi ada juga Hadis yang hanya diterima oleh
hanya satu, dua, atau tiga orang saja dan orang-orang itu dapat membacakan
Hadis tersebut kepada beberapa orang juga, dan dapat memasyhurkannya di
kalangan tertentu saja. Untuk itu pemakalah akan membahas tentang permasalahan
pembagian Hadis berdasarkan kuantitas (jumlah perawinya) yaitu Hadis Mutawatir,
dan Hadis Ahad. Hadis mutawatir terbagi kepada dua macam, yaitu Mutawatir
Lafzhi dan Mutawatir Ma’nawi. Sedangkan Hadis ahad terbagi 3, yaitu Hadis
Masyhur, Hadis Azis dan Hadis Gharib. Bila ditinjau segi kuantitas
periwayatannya, maka Hadis dapat terbagi kepada dua macam, yaitu Hadis
Mutawatir dan Hadis Ahad.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HADITS MUTAWATIR
a) Pengertian
Hadits Mutawatir
Mutawatir,
menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’
(berturut-turut).[1]
Menurut istilah ulama Hadis Mutawatir adalah :
Suatu Hadis hasil tanggapan dari pancaindra, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka berkumpul dan bersepakat dusta.[2]
b)
Syarat-
syarat hadits mutawatir
1. Pewartaan
yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca
indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu benar-benar hasil penglihatan atau
pendengaran sendiri.
2. Jumlah
rowi-rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka
bersepakat untuk berbohong. Ulama hadis berbeda pendapat tentang berapa jumlah
bilangan rawinya untuk dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang
mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya
minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan
mengenai mula’anah. Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di
bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada
yang minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang
mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang
terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua
orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar.
Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadis yang layak disebut mutawatir yaitu
paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang.
Berikut pendapat para
ulama tentang jumlah bilangan rawi beserta dasar-dasar Al-Qur’annya :
a) Abu
at-Thaiyyib, menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan dengan
banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis pada
terdakwah. Ini didasarkan pada QS. 24. An-Nur : 13.
b) Ashab
as-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang
mendapat gelar ulul azmi. Juga ada yang berdasarkan pada permasalahan
li’an, QS. 24. An-Nur : 6-9.
c) As-Suyuthy dan
Astikhary menetapkan bahwa jumlah yang
paling baik adalah minimal 10 orang, sebab bilangan itu merupakan awal
bilangan banyak. Pendapat inilah yang banyak diikuti oleh para muhaddisin.
d) Ada
pendapat lain yang mengatakan minimal 12 orang, seperti jumlah pemimpin
yang dijelaskan dalam firman Allah QS. 5. Al-Maidah : 12.
e) Ada
sebagian ulama yang menetapkan 20 orang, ini didasarkan pada QS. 8.
Al-Anfal : 65.
f) Ada
juga yang mengatakan minimal 40 orang, ini didasarkan pada QS. 8. Al-Anfal
: 64.
g) Ada juga yang menetapkan jumlah minimal 70 orang, ini
didasarkan atas firman Allah dalam al-Quran QS. 7. Al-A’raf : 155.
Pada
prinsipnya hadits mutawatir ini bersifat qath‘i al-wurud (sesuatu yang pasti
benar-benar bersumber dari Nabi), maka keseluruhan dari hadits mutawatir
adalah maqbul (diterima) dengan tidak diperlukan lagi kajian tentang sanad
atau rijal (periwayat hadits). Bahkan menurut Imam Nawawi, sekalipun
periwayatnya adalah bukan seorang muslim. Maka ulama muhaddisin sepakat bahwa
hadits mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim yang bersifat qath’I (pasti), maka dari itu wajib hukumnya untuk membenarkan dan
mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadits mutawatir. Terkait
dengan ada atau tidak tentang hadits mutawatir juga masih dipertentangkan oleh
ulama.[3]
3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam
thabaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thobaqoh berikutnya. Oleh karena
itu, kalau suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian
diterima oleh lima orang tabi’I dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua
orang tabi’it-tabi’in, bukan hadits mutawatir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak
seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.
c) Klasifikasi
Hadits Mutawatir
Para ulama
membagi hadits mutawatir menjadi tiga, yaitu mutawatir lafzhi, mutawatir
ma’nawi, dan mutawatir amali.
1. Hadits
Mutawatir Lafzhi
Hadits
yang diriwayatkan oleh orang banyak yang sususan redaksi dan maknanya sesuai
benar antara riwayat yang satu dan lainnya, yakni hadits yang sama bunyi
lafazh, hukum, dan maknanya.[4]
Contoh
hadits mutawatir lafzhi adalah,
Barang
siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat
duduknya di neraka. (H. R. Bukhari)
Menurut ulama, Hadis tersebut diriwayatkan lebih dari 70
orang sahabat.[5]
2. Hadits
Mutawatir Ma’nawi
Hadits
yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya,
tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli).
Contoh
hadits mutawatir ma’nawi adalah,
Nabi Muhammad saw. tidak mengangkat
kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa shalat Istisqa’. Dan
beliau mengangkat tangannya hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya. (HR. Bukhari Muslim)
Dengan lafaz yang berbeda pula, namun maknanya sama yaitu
berdoa dengan mengangkat tangan, sebagaimana Hadis-Hadis yang ditakhrijkan oleh
Imam Ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud, yang berbunyi :
Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak
beliau.[6]
3. Hadits
Mutawatir Amali
Amalan agama (ibadah) yang dikerjakan Rasulullah, kemudian
diikuti para sahabat , lalu para tabi’in dan seterusnya sampai pada generasi
kita sekarang ini.
Contoh hadits mutawatir amali adalah berita-berita yang
menerangkan waktu dan rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘Ied, hijab
perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah
menjadi kesepakatan, ijma.
d) Kitab-kitab tentang Hadits-hadits Mutawatir
Sebagaian ulama telah
mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah kitab tersendiri. Diantara
kitab-kitab tersebut adalah :
1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya
As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab.
2. Qath Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasa dari kitab di atas.
3. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatirah,
karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
4. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.[7]
B. HADITS
AHAD
a) PENGERTIAN
HADIS AHAD
Hadis ahad
adalah hadis yang jumlah rawinya
tidak sampai pada jumlah mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
b) KLASIFIKASI
HADIS AHAD
a. Pengertian,
hadis masyhur
Menurut bahasa, masyhur
adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer.
Adapun menurut istilah, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
pada setiap thabaqah , tidak mencapai derajat mutawatir.
b. Klasifikasi
hadis masyhur
1) Istilah
masyhur yang diterapkan pada suatu hadis kadang-kadang bukan untuk
memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan diatas, yakni banyaknya rawi
yang meriwayatkan suatu hadis, tetapi diterapkan jugauntuk memberikan sifat
suatu hadis yang mempunyai ketenaraan di kalangan para ahli ilmu tertantua atau
kalangan masyarakat ramai. Dari segi ini, hadis masyhur terbagi kepada:
I.
Masyhur di kalangan para muhaditsin dan lainnya
(golongan ulama ahli ilmu dan orang umum)
II.
Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya
hanya masyhur di kalangan ahli hadis saja, ahli fiqh, ahli tasawuf dan
sebagainya.
III.
masyhur
di kalangan masyarakat umum.
c. Kitab-kitab
yang berisi tentang kumpulan hadis masyhur , antara lain Al-Maqasid
Al-Hasanah fi ma Isytahara ‘ala Al-Alsinah, karya As-Sakhawi, Kasyf Al-Khafa’wa
Muzill Al-Ilbas fi ma Isytahara min
Al-Hadits ‘ala Alsinah An-Nas min Al-Hadist karya Ibnu Daiba’ As-Syaibani.[8]
2. Hadist
Aziz
Kata aziz berasal dari azza-ya’izzu
yang berarti ia yakadu aziz dan gharib (sedikit atau jarang adanya)
atau berasal dari azza-ya ‘azzu berarti qawiya (kuat).
Adapun kata aziz menurut
istilah, antara lain hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua
thobaqat sanad. Lebih lanjutnya definisi tersebut dijelaskan oleh Mahmud
At-Tahham bahwa sekalipn dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang
atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah asalkan dari sekian thabaqat terdapat
satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.
Dari definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa suatu hadist dikatakan hadis aziz bukan saja karena
diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat terakhir, yakni sejak
dari thabaqat pertama sampai thabaqat terakhir, tetapi juga bila dalam salah
satu thabaqat didapati dua orang perawi. Dari pemahaman ini, bisa saja terjadi
suatu hadis yang pada mulanya tergolong sebagai hadis aziz, karena hanya diriwayatkan oleh dua
rawi, tetapi berubah menjadi hadist masyhur karna pada thobaqat selanjutnya
atau pada thobaqat lainnya berjumlah banyak.
Contoh hadist: “tidaklah beriman
seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada dirinya,
orangtuanya, anaknya, dan semua manusia.”
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin
Malik dari Rasulullah SAW, kemudian diriwayatkan kepada Qadadah dan Abdul
Al-Aziz bin Suhaib. Selanjutnya, Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pula,
yaitu Syu’bah dan Husain Al-Muallim. Hadis dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh
dua orang, Abdul Al-waris dan ismail bin ulaiyah.kemudian hadis dari husain
diriwayatkan oleh yahya bin said dan dari syubah diriwayatkan oleh adam,
muhammad bin jafar, dan juga oleh yahya bin said. Adapun hadis dari ismail
diriwayatkan oleh zuhair bin harb dan dari abdul al-waris diriwayatkan oleh
musdad dan dari jafar diriwayatkan oleh ibnu al-musana dan ibnu basyar, sampai
kepada bukhari dan muslim.
Hadist aziz ada yang shahih,
hasan, dan dhaif bergantung pada terpenuhi atau tidaknya
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan itu semua.[9]
3. Hadist
gharib
a. Pengertian
hadist gharib
Gharib menurut bahasa adalah ba’idun
‘anil wathani (yang jauh dari tanah), dan kalimat yang sukar dipahami.
Adapun menurut istilah ialah hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi.
b. Klasifikasi
hadist gharib
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian
rawi, hadist gharib terbagi menjadi dua macam, yaitu gharib muthlaq dan
gharib nisby.
i.
Gharib muthlaq
Adalah
hadist yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadist itu. Penyendirian rawi
hadis gharib muthlaq itu berpangkal pada tempat ashlus sanad, yakni
tabiin bukan sahabat.
ii.
Gharib nisby
Adalah
apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang
rawi. Penyendirian rawi ini mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain:
Ø Sifat
keadilan dan kedhabitan (ke-tsiqat-an)
rawi
Ø Kota
atau tempat tinggal tertentu
Ø Meriwayatkannya
dari orang tertentu
Apabila penyendirian
itu ditinjau dari segi letaknya aakah terletak di sanad atau
Matan, hadist gharib
terbagi lagi menjadi tiga bagian:
Ø Gharib
pada sanad dan matan
Ø Gharib
pada sanadnya saja
Ø Gharib
pada sebagian matannya
c. Cara
untuk menetapkan ke gharib an hadist
Untuk menetapkan suatu hadis itu gharib,
hendaklah periksa dulu pada kitab-kitab hadis, seperti kitab jumi’ dan
kitab Musnad, Apakah hadis tersebut mempunyai sanad lain yang menjadi mutabi’
dan matan lain yang menjadi syahid. Cara tersebut dinamakan i’tibar.
Menurut istilah ilmu hadist mutabi’
adalah hadis yang mengikuti periwayatan rawi lain dari gurunya (yang
terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu).
Mutabi’ ada
dua macam yaitu:
a) Mutabi’tam
yaitu bila periwayatn mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru (mutaba’)
dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
b) Mutabi’
washir yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti
periwayatan guru (mutaba’) yang tedekat saja, tidak smapai mengikuti
gurunya guru yang jauh sekali.
Adapun
syahid adalah “meriwayatkan sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya.” Hadis
syahid ada dua macam, antara lain:
a) Syahid
bi Al-Lafzhi, yaitu bla matan hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat yang lain sesuai redaksi
dan maknanya dengan hadis fardnya.
b) Syahid
bi Al-Ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat yang lain , hanya sesuai dengan maknanya.
C. KEDUDUKAN
HADIS AHAD DAN PENDAPAT ULAMA TENTANG HADIS AHAD
Para ahli hadis berbeda pendapat
tentang kedudukan hadis ahad. Pendapat tersebut antara lain:
1. Segolongan
ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu Dawud,
mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2. Jumhur
ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faedah dhan. Oleh karena
itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3. Sebagian
ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4. Sebagian
muhaqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan
amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakan
dalam urusan aqa’id (akidah).
5. Imam
Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari
hukum-hukum Al-quran.
6. Ahlu
Zhahir (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak
memperbolehkan mentakhsiskan umum ayat-ayat Al-quran dengan hadis ahad.[10]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua
setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas
terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44.
Hadits tersebut merupakan teks kedua sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai
pembimbing bagi masyarakat yang beriman.
Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang
meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan
hadits ahad.
Demikian hadits dilihat dari
kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadits
mutawatir tanpa memeriksa sifat-sifat para perawi secara individu, atau
menunjukan kualitas hadits ahad, jika disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan
standar hadits yang makbul.
Hadits ahad masih memerlukan barbagai
persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau
sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu
yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan, ketersambungan sanad dan
ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir secara absolute dan pasti
(qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadits ahad bersifat
relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis,
Ibrahim. 2013. Pembagian Hadis Dari Sudut Kuantitas Jumlah Perawinya. http://makalahmajannaii.blogspot.com/2013/04/pembagian-hadis-dari-sudut-kuantitas.html. (diakses 24 Oktober 2013).
Mudasir. 2010. ILMU HADIS. Bandung: PUSTAKA SETIA.
Ganyonk,
Om. 2013. Pengertian Hadits Mutawatir.
http://mustwildan.blogspot.com/2013/01/pengertian-hadits-mutawatir.html. (diakses 4 Januari 2014).
Solahudin & Suyadi, Agus. 2013. ULUMUL
HADIS. Bandung: PUSTAKA SETIA.
[1] Solahudin dan Agus Suyadi, ULUMUL HADIS,
PUSTAKA SETIA, Bandung, 2013, hal. 129
[2] Ibrahim Lubis, “Pembagian Hadis Dari Sudut Kuantitas
Jumlah Perawinya”, Aneka Ragam Makalah, diakses dari http://makalahmajannaii.blogspot.com/2013/04/pembagian-hadis-dari-sudut-kuantitas.html,
pada tanggal 24 Oktober 2013 pukul 19:11
[3] Om Ganyok, “Pengertian Hadits Mutawatir”,
Must Wildan, diakses dari http://mustwildan.blogspot.com/2013/01/pengertian-hadits-mutawatir.html, pada tanggal 4 Januari 2014 pukul
15:49
[4]
Solahudin dan Agus Suyadi, ULUMUL HADIS, PUSTAKA SETIA, Bandung, 2013,
hal. 130-131
[5] Ibrahim
Lubis, “Pembagian Hadis Dari Sudut Kuantitas
Jumlah Perawinya”, Aneka Ragam Makalah, diakses dari http://makalahmajannaii.blogspot.com/2013/04/pembagian-hadis-dari-sudut-kuantitas.html,
pada tanggal 24 Oktober 2013 pukul 19:11
[6] Ibid
[7] Solahudin
dan Agus Suyadi, ULUMUL HADIS, PUSTAKA SETIA, Bandung, 2013, hal.
132-133
[8] Ibid,
hal. 134-135
[10]
Solahudin dan Agus Suyadi, ULUMUL HADIS, PUSTAKA SETIA, Bandung, 2013,
hal. 137-140
0 komentar:
Posting Komentar