Makalah Studi Al-Qur'an: Perkembangan Bentuk Tulisan Al-Qur'an

on Selasa, 06 Mei 2014
A. Tulisan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Beliau memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin Al-Walid, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis berupa lontaran kayu, pelepah korma, tulang-belulang, dan batu. Kegiatan tulis menulis Al-Qur’an pada masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatan itu didasarkan pada sebuah hadis Nabi sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dari aku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an , hendaklah ia menghapusnya.” Di antara faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah: 1. Mem-backup hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, 2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka ada yang sudah wafat. Adapun tulisan tetap terpelihara walaupun tidak ditulis pada suatu tempat. Uraian ini memperlihatkan karakteristik penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat-tempat yang terpisah-pisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alasan berikut ini: Pertama, proses penurunan Al-Qur’an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat turun belakangan menghapus redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah lebih dulu turun. Kedua, mentertibkan ayat dan surat-surat Al-Qur’an tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dan ayat lainnya, atau antara surat yang satu dengan surat yang lain. Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu. (Anwar, 2009:74-75) Para sahabat menulis Al-Qur’an pada sarana yang mudah mereka dapatkan, sampai-sampai pada tulang-belulang, lempengan-lempengan batu, pelepah kurma dan lain-lain, yang menunjukkan besarnya perhatian mereka terhadap penulisan Al-Qur’an. (Adzim Al-Zarqani, 2001:383-384) B. Penyempurnaan Tulisan Mushaf Al-Qur’an (buku Al-Qur’an standart) yang dihasilkan oleh tim pada masa pemerintahan Utsman bin Affan RA ditulis dengan bentuk huruf Kufi tanpa tanda titik dan tanpa tanda bunyi. Sulit dibedakan antara huruf Ba’, Ta’, Tsa’, dan Nun; Jim, Ha’, dan Kho’; huruf Sin dan Syin, huruf Dal dan Dzal; huruf Shod dam Dlod; dan sebagainya. Penulisan huruf Kufi tersebut berlangsung sejak masa Nabi SAW. Para juru tulis Nabi SAW juga menuliskan ayat Al-Qur’an maupun surat Nabi SAW dengan huruf tanpa titik dan tanda bunyi. Meskipun Nabi SAW tidak bisa membaca dan menulis, uniknya Nabi SAW membimbing penulisan ayat Al-Qur’an, bukan penulisan surat pribadinya. Zaid bin Tsabit RA menulis kembali ayat-ayat Al-Qur’an pada lembaran-lembaran di masa Khalifah Abu Bakar RA. Banyak bentuk tulisannya yang menyalahi kaedah Bahasa Arab. Zaid tidak menulis dengan pedoman hafalan, melainkan berdasarkan catatan-catatan yang diketahuinya sesuai dengan pengarahan Nabi SAW. Metode penulisan Zaid disetujui anggota tim pembukuan Al-Qur’an yang dibentuk oleh Khalifah Utsman. Tim juga sepakat untuk memilih Zaid sebagai penulis dan Sa’id bin Al-‘Ash sebagai pembaca Al-Qur’an. (Ali Aziz, 2012:64-65) Seperti halnya perubahan tidak menyebabkan kehancuran teks melainkan justru menekankan beberapa huruf hidup (vowels) yang telah ditiadakan atau dibuang untuk penggunaan singkatan, al-Farsi meninggalkan persahabatan alHajjaj tanpa kesan negatif. Kembali merujuk kepada AI-Qur'an, kita menemukan bahwa kata tercatat sebanyak 331 kali, sedangkan sebanyak 267 kali; jumlah seluruhnya ada 598 kata. Mengingat bahwa 'Ubaidullah menambah ekstra dua alif di setiap ini maka mencapai sekitar 1,200 huruf ekstra. Jumlah dua ribu (sebagaimana disebutkan dalam riwayat itu) kemungkinan besar hanya kira-kira saja. Riwayat Ibn Abi Dawud mengalami kekurangan dan isnadnya pun lemah menyebabkan banyak ilmuwan yang menolak. Tetapi jika ternyata ini juga betul, apa yang menjadikan `Ubaidullah salah dalam membuat naskah pribadi tak ada tujuan lain kecuali hendak menjadikannya sesuai dengan kaidah ejaan yang berlaku, lain tidak. Contoh lainnya, kita akan mengalihkan perhatian pada mushaf salinan Ibn al-Bawwab yang dibuat pada tahun 391 Hijrah / 1000 Masehi, yang saya telah bandingkan dengan mushaf cetakan Madinah pada tahun 1407 Hijrah/ 1987 Masehi. (al A'zami, 2008:148) C. Pembagian Susunan Al-Qur’an Mushaf-Mushaf Utsman sunyi dari pembagian menjadi juz-juz, sebagaimana sunyi dari titik dan harakat. Setelah lama berlalu, orang-orang membagi-bagi Al-Qur’an menjadi beragam bagian dengan sebutan yang beragam. Ada yang membagi menjadi tiga puluh dan menyebutn setiap bagiannya dengan sebutan “juz”, sehingga bila ada orang mengatakan: “Saya telah membaca satu juz Al-Qur’an, maka mudah sekali dipahami, bahwa ia telah membaca sepertiga puluhnya. Hal yang sama dilakukan oleh para pemilik “Ar-Raba’at”, yang mencetak setiap juznya secara tersendiri. Dan kumpulan naskah keseluruhan Al-Qur’an mereka sebut “Rab’ah”, karena itu, kita bisa menemukan juz-jus tersendiri di tangan anak-anak sekolah atau lainnya. Ada yang membagi setiap juz menjadi dua “hizib”. Ada juga yang membagi setiap hizib menjadi empat bagian, yang setiap bagiannya mereka sebut “Rub’”. Ada juga yang meletakkan kata “Khams” dan ditempatkan di akhir setiap lima ayat dan kata”‘Asyr”, pada akhir setiap sepuluh ayat. Bila telah ada lima ayat lagi, maka mereka akan mengulangi “Khams”, begitu pula bila telah ada sepuluh ayat lagi, mereka akan mengulangi kata ”‘Asyr”, begitu seterusnya sampai akhir surat. Sebagian Ulama menulis di tempat akhir setiap lima ayat kepada huruf Kha’ sebagai ganti dari kata “Khams” dan di tempat akhir setiap sepuluh ayat kepala huruf ‘Ain sebagai ganti dari ‘Asyr. Sebagian Ulama menandai ujung-ujung ayat dengan nomor bilangannya dari surat yang bersangkutan. Sebagian lain membuat kepala surat, semisal judul, dengan menuliskan nama surat, ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyahnya, dan lain-lain. Mengenai hal ini, sangat panjang uraiannya. Di samping itu ada berbagai pendapat dari kalangan ulama tentang boleh tanpa makruh atau boleh namun makruh. Akan tetapi alasannya sangat mudah, selama tujuannya adalah memberikan kemudahan, dan selama terhindar dari kerancan, penambahan atau pengurangan. (Adzim Al-Zarqani, 2001:419-420) D. Pencetakan Al-Qur’an Mula-mula Al-Qur’an dicetak, ialah di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M, di pangkal abad yang keduabelas dari Hijrah. (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1954:109) Generasi pertama pencetak mushaf Al-Qur'an di Indonesia adalah Abdullah bin Afif Cirebon (yang telah memulai usahanya sejak tahun 1930-an bersamaan dengan Sulaiman Mar'i yang berpusat di Singapura dan Penang), Salim bin Sa'ad Nabhan Surabaya, dan Percetakan Al-Islamiyah Bukittinggi. Usaha bidang ini kemudian disusul oleh Penerbit A1- Ma'arif Bandung yang didirikan oleh Muhammad bin Umar Bahartha pada tahun 1948 (Gambar 6).s Mereka tidak harrya mencetak Al-Qur'an, namun juga buku-buku keagamaan lain yang banyak dipakai umat Islam. Pada tahun 1950-an penerbit mushaf di antaranya adalah.Sinar Kebudayaan Islam dan Bir & Company. Penerbit Sinar Kebudayaan Islam menerbitkan mushaf pada tahun 1951. Bir & Co mencetak sebuah mushaf dengan tanda tashih dari Jam'iyyah al-Qurra' wal-HuffiV (perkumpulan paru pembaca dan penghafal Al-Qur'an) tertanggal 18 April 1956. Pada tahun 1960-an Penerbit Toha Putra Semarang memulai kegiatan yang sama, lalu disusul Penerbit Menara Kudus. Penerbit lainnya pada sekitar periode ini adalah Tintamas, dan beberapa penerbit kecil lainnya. Sampai dengan dasawarsa 1970-m dan 1980-an sejumlah penerbit di atas masih merupakan "pemain utama" dalam produksi mushaf di Indonesia. Pada periode tersebut muncul sejumlah penerbit mushaf bant, di antaranya, Firma Sumatra, CV Diponegoro, CV Sinar Baru, CV Lubuk Agung, CV Angkasa, CV Al-Hikmah (Bandung); CV Wicaksana, CV Al-Alwah (Semarang); CV Bina Ilmu (Surabaya); CV Intermasa (Jakarta), sefta beberapa penerbit kecil lainnya. Jenis mushaf yang dicetak, hingga dasawarsa tersebut, adalah mushaf asal Bombay yang berciri huruf tebal, dengan tambahan "muatan lokal" berupa tajwid, keutamaan membaca Al-Qur'an, daftar surah, dan lain-lain, dalam tulisan Jawi (huruf Arab-Melayu). Teks tambahan tersebut terdapat di bagian awal atau akhir mushaf yang ditulis oleh ahli kaligrafi tempatan, sehingga perbedaan kaligrafinya terlihat sangat kontras. Pada dasawarsa 1990-an muncul sejumlah penerbit mushaf yang baru, yaitu PT Al-Amin, PT Inamen Jaya, PT Mutiara, PT Sugih Jaya Lestari, PT Tehazet, CV Doa Ibu, CV Pustaka Amani, PT Zikrul Hakim (Jakarta); CV Jumanatul Ali, CV Sugih Jaya Mukti, CV Sriwijaya, Yayasan Pustaka Fitri (Bandung); CV Asy-Syifa, CV Aneka Ilmu, CV Hilal, PT Tanjung Mas Inti CV Istana Karya Mulya, CV Kumudasmoro, PT Salarn Setia Budi (Semarang); CV Karya Abadi Tanra, CV Duta llmu, CV Al-Hidayah, CV Delta Adiguna, CV Aisyiyah. UD Mekar, CV Terbit Terang, dan CV Ramsa Putra (Surabaya). Sejak dasawarsa 2000-an, beberapa penerbit yang semula hanya menerbitkan buku keagamaan - dan mereka telah sukses di bidangnya - mulai tertarik untuk menerbitkan mushaf, yaitu Penerbit Mizan, Syamil, Serambi, Gema Insani Press, dan Pustaka Al-Kautsar. Bahkan sebagian lain semula merupakan penerbit buku umum yang telah sukses, yaitu Tiga Serangkai, Cicero, dan Masscom Graphy. Selepas krisis ekonomi Indonesia tahun 1998, dan sejalan dengan selera masyarakat yang semakin tinggi dalam hal desain buku, serta didukung teknologi komputer yang semakin canggih, tampilan mushaf Al-Qur'an terus-menerus dibenahi para penerbit. Besamya "kue" pasar mushaf di Indonesia, dengan 200 juta lebih umat Islam, tentu sangat menggiurkan, dan menarik para penerbit untuk ikut merebut pasar. Pangsa pasar mushaf itu pun ke depan akan tumbuh terus, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran keagamaan umat seperti tercermin dari ramainya majelis-majelis taklim dan majelis zikir yang dihadiri berbagai lapisan umat Islam. (Ali Akbar, 2011:276-280) Sebenarnya yang terlihat jelas adalah, di Indonesia tersebar Mushaf Alqur’an cetakan Bombay yang penyebaranluasnya dipelopori oleh Sulaiman Mar’ie Singapura, Salim bin Nabhan Surabaya, dan Abdullah Bin Afif Cirebon. Melalui Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957, terbentuk Badan Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an. Badan ini bertugas untuk meneliti dan mengawasi Al-Qur’an yang beredar di Indonesia, baik dalam bentuk buku, kaset, piringan hitam, maupun tulisan Barille. (Ali Aziz,2012:73)   KESIMPULAN Sejauh yang kita lihat dan kita dengar, tidak ada kitab yang sedemikian dimuliakan dan disucikan seperti halnya Al-Qur’an Al-Karim. Sampai-sampai Allah SWT menerangkan bahwa Al-Qur’an merupakan Kitan Maknun (Kitab yang Terpelihara) dan tidak disentuh kecuali oleh mereka yang suci. Dia berfirman sebagai berikut: “Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang sangat besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang mulia, pada kitab yang terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al-Waqi’ah: 75-79) Bahkan Rasullullah melarang membawanya ke daerah musuh, bila dikhawatirkan ia akan jatuh ke tangan mereka. Hadits mengenai hal ini diriwayatkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Semoga Allah SWT memberikan kesopanan kepada kita bersama-Nya dan bersama Kitab-Nya serta bersama seluruh hamba terpilih-Nya. Amin.   DAFTAR PUSTAKA Abdul Al-Zarqani, Syeikh Muhammad. 2001. Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Gaya Media Pratama. Akbar, Ali. 2011. SUHUF: Jurnal Kajian Al-Qur’an dan Kebudayaan. Jakarta: Balitbang Kemenag RI. Al-A’zami, Prof. Dr. Muhammad Mustofa. 2008. The History The Qur'anic Text. Jakarta: Gema Insani. Aziz, M.Ag, Prof. Dr. KH. Moh. Ali. 2012. Mengenal Tuntas Al-Qur’an. Surabaya: IMTIYAZ. Anwar, M.Ag, Dr. Rosihin. 2009. Pengantar Ulumul Quran. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA. Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi. 1954. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang.

0 komentar:

Posting Komentar